Kamis, 29 April 2010

Undangan Diskusi Publik: “UU dan Peraturan Rumah Negara: Kebijakan Setengah Hati"

1 komentar
Sebelumnya perkenalkanlah kami Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang beralamat di Jl. Diponegoro No. 74 Menteng Jakarta Pusat, sebuah lembaga bantuan hukum yang telah 40 tahun berdiri dan konsisten untuk memperjuangkan keadilan dan Hak Asasi Manusia. LBH Jakarta saat ini tergabung dalam ALIANSI PENGHUNI RUMAH NEGARA dimana di dalamnya tergabung para penghuni rumah negara PT. Kereta Api Indonesia, TNI AD, TNI AL, BPKP, dan Perum/Perjan Pegadaian, IIP/IPDN, Dep. ESDM dan berbagai penghuni rumah negara lainnya. APRN merupakan komunitas yang aktif mencari dan mengembangkan pemikiran dan tindakan alternatif bagi upaya penyelesaian konflik seputar Rumah Negara/ Dinas yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana diketahui beberapa tahun terakhir ini rumah negara menjadi sumber konflik yang semakin marak antara penghuni rumah negara dengan pemerintah. Meskipun penyelesaian konflik dapat ditempuh melalui jalur hukum, ternyata lebih banyak penyelesaian yang dilakukan melalui pendekatan kekuasaan dengan cara pengosongan paksa.

Sebenarnya peraturan perundang-undangan yang mengatur persoalan rumah negara tersedia cukup lengkap, hanya saja terdapat perbedaan pandangan dalam penerapannya. Satu hal yang pasti, penyelesaian melalui cara pengosongan paksa rawan terhadap terjadinya pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, Pengelolaan Harta Milik Negara dan Tindak Pidana Korupsi.

Sekaitan dengan hal tersebut diatas kami, bermaksud mengundang saudara-saudara untuk hadir dalam Diskusi Publik “UU dan Peraturan Rumah Negara: Kebijakan Setengah Hati”, yang akan dilaksanakan pada :

Hari/ tanggal : Rabu, 5 Mei 2010
Jam : 15.00 – 17.00
Pembicara :
  1. Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution (Praktisi Hukum dan pegiat HAM)
  2. Eko Soesamto Tjiptadi - Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
  3. Arif Baharuddin - Direktur Barang Milik Negara II Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Republik Indonesia
  4. Prastopo (Forum Komunikasi Penghuni Perumahan Negara)

Tempat : Lt. 1 Gedung YLBHI, Jl. Diponegoro nomor 74
Jakarta Pusat.

Besar harapan kami saudara dapat menghadiri undangan ini, demi terwujudnya Indonesia yang bebas korupsi dan bebas pelanggaran HAM. Demikian undangan ini kami sebarkan. Atas kesediaan saudara-saudara sekalian kami ucapkan terima kasih.

Read more

Jumat, 23 April 2010

“Angkat Topi” untuk Tegaknya Hak Azasi Manusia

1 komentar

Pengosongan rumah pensiunan IIP/IPDN di jl. Ampera Raya, Cilandak, 8 April lalu telah berakhir tanpa kerusuhan fisik dari pihak-pihak yang bersitegang, yaitu antara pensiunan IIP/IPDN dengan pihak Inspektorat Wilyah I Kemendagri, Polisi, Satpol PP serta “preman/provokator” terselubung.

Gencatan emosi untuk saling menyerang dapat dikendalikan dengan baik oleh pihak-pihak diatas, walaupun dengan susah payah, adu argumentasi yang sangat meletihkan dan menguras energi. Juga sempat ditemukan beberapa barang bukti seperti linggis dan palu, yang tidak jadi “beraksi” pada saat itu. Sehingga korban dari kedua belah pihak tidak ada, apalagi pertumpahan darah dan nyawa, seperti kejadian penggusuran warga,situs,makam mbah Priuk yang baru saja terjadi. Walaupun kedua peristiwa ini jelas beda kasus.

Akan menyedihkan, kalau seandainya pihak Kamendagri, khususnya aparat yang saat itu akan mengeksekusi rumah para pensiunan IIP, yang notabene terletak di lingkungan kampus dengan kegiatan pendidikan untuk mengasah akal dan budi, memaksakan kehendaknya dengan berbagai dalih yang mengabaikan hak azasi manusia, tapi dengan menggunakan kekerasan dan memanfatkan kekuatan Satpol PP.

Ini Negara hukum Bung..! Tunjukan bahwa orangtua kita mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang beradab, bukan menjadi manusia bengis, jadi berhikmahlah untuk berbuat sesuatu dengan kesantunan.

Bersyukur kepada Allah SWT, bahwa pada saat itu kita semua sudah dilindungiNya,untuk berakhir dengan damai dan bermusyawarah terus sampai mendapatkan titik temu yang tidak saling menyakiti.

“Angkat topi” untuk Polisi, Satpol PP, aparat IPDN/ Kemendagri, atau mungkin preman terselubung/ provokator yang tidak jelas identitasnya, yang sudah menahan diri, untuk terciptanya anti kerusuhan. Begitu juga untuk simpatisan yang sudah bersusah payah menyediakan konsumsi lengkap sehingga pensiunan-pensiunan dan janda-janda yang sudah sepuh, serta anggota keluarganya yang ada dilapangan pada saat itu, tidak kehabisan energi untuk menegakkan kebenaran, termasuk juga semua wartawan dari berbagai media untuk mengabadikan momen bagian dari sejarah tersebut.

Juga terimakasih pada semua yang telah turut membersihkan kembali lingkungan IIP/IPDN dari sampah setelah semua pihak “cooling down”. Tetap bersemangat sampai cita-cita ini terlaksana.

author: Pudji
Read more

Selasa, 20 April 2010

Pajak Yang Nyaris Melinggis Rumahku

0 komentar
SPT….SPT…., begitulah kesibukan orang setiap akhir bulan Maret karena disibukkan untuk membuat SPT tahunan. Juga tahun 2010 ini.

Sebagai warganegara yang telah mempunyai NPWP pribadi banyak orang membuat SPT tahunan pribadi yang menjadi kewajiban mereka. Namun tiba-tiba saja sebuah berita mengejutkan terdengar. Berita yang membuat batang leher pembayar pajak sekonyong tercekat, nafasnya tersenggal-senggal, dan darahnya mendidih karena amarah.

Ada MAFIA PAJAK di negeri ini. Mafia penghisap darah rakyat yang amat rakus. Bagaimana tidak rakus jika operator lapangannya saja yang konon bernama Gayus Tambunan dan berpangkat 3a mampu mengatur intitusi penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dan mengelola dana sebesar 25 Milyar rupiah. Bayangkan berapa dana yang dihisap oleh pejabat diatasnya! Angka di rekening Gayus itu saja jauh melampaui harta kekayaan presiden Susilo Bambang Yudoyono per 23 November 2009 yang dilaporkan dalam keterangan pers di kantor presiden 5 maret 2010 sebesar Rp 7.616.270.204 dan 269.730 dolar AS.

Kekesalan rakyat pada MAFIA PAJAK memicu berbagai reaksi para pembayar pajak. Lihat saja “Gerakan 1.000.000 Facebooker Dukung Boikot Bayar Pajak untuk Keadilan” yang muncul di situs jejaring social Facebook. Kekesalan rakyat semakin meluas saat mereka menyadari bahwa pajak mereka seringkali digunakan untuk melumpuhkan (secara fisik) para pembayar pajak. Ngak Percaya? Lihat saja kasus “Makam Mbah Priok”. Dengan mata telanjang pemirsa televisi disajikan pemandangan yang ironis. Bagaimana mungkin aparat yang digaji dari pajak rakyat, menggunakan peralatan yang dibeli dari pajak rakyat menghajar tanpa kenal ampun para pembayar pajak. Kasus Priok hanya satu contoh. Dalam kasus pengosongan rumah Negara yang dihuni di Jalan Ampera Raya Jakarta Kamis, 8 April 2010, para pensiunan juga menemukan bukti penggunaan preman bayaran dan alat-alat kekerasan seperti palu dan linggis oleh aparat negara yang menerima tugas pengosongan. Ironis bukan. Sudah dipakai untuk membayar gaji aparat, pajakpun ternyata digunakan untuk membeli linggis yang akan digunakan membongkar rumah pembayar pajak.

Author: Yani
Read more

Minggu, 18 April 2010

Tragedi Priuk....Pentingnya Pengendalian Diri

0 komentar

Jika melihat tayangan mengenai keributan di makam mbah Priuk kemarin maka yang terasa hanyalah kengerian yang amat sangat. Bagaimana tidak ngeri ? Hal serupa dapat saja terjadi pada saat akan dilakukan eksekusi rumah di kompleks IPDN, jl. Ampera, Jakarta, Kamis, 8 April 2010 yang baru lalu. Terbayang betapa dekatnya jarak antara aparat Satpol PP, polisi, aparat IPDN dan para preman dengan para pensiunan di kompleks yang tak lain adalah orang-orang terkasih. Walaupun perasaan takut itu sebenarnya tidak beralasan, karena kasus makam priuk dan kasus kompleks IPDN sangatlah berbeda dan tidak bisa diperbandingkan.

Di balik rasa ngeri tentu saja terbersit rasa syukur yang amat dalam bahwa kejadian serupa tidak harus terjadi di kompleks IPDN. Bersyukur karena aparat satpol pp, polisi, aparat IPDN dan para preman berhasil mengendalikan diri untuk tidak membabi buta melakukan pengosongan lahan. Bersyukur karena para pensiunan dan keluarga yang berjaga-jaga di garis depan dapat menahan diri untuk tidak terpancing dengan aksi intimidasi dan provokasi. Seruan-seruan untuk memakai otak dan bukan otot, serta himbauan untuk tidak mudah terprovokasi oleh siapapun ikut mendinginkan banyak hati yang panas saat itu.

Dalam keadaan mendesak, baru terasa pentingnya pengendalian atau penguasaan diri. Tentu saja tidak mudah memiliki pengendalian diri yang baik di tengah-tengah situasi memanas seperti itu. Apalagi rasa cemas, kecewa, kesal dan amarah sedang memuncak akibat tekanan psikologis dari para aparat yang hendak menunjukkan kuasanya. Namun sekali lagi, syukurlah kedua belah pihak mampu menahan egonya. Sehingga eskalasi emosi yang sempat memuncak dapat diredakan sekaligus menghindarkan munculnya aksi anarkis yang dapat merugikan kedua belah pihak.

Peristiwa itu memang sudah lewat. Kecemasan juga sudah semakin mereda. Namun detik demi detik yang terjadi pada hari itu tidak akan terlupakan oleh semua warga kompleks IPDN. Semoga apa yang terjadi pada saat itu juga dapat meninggalkan jejak hikmah bagi aparat yang tengah bertugas. Bahwa menyelesaikan masalah tidaklah selalu harus memakai otot. Jika hati nurani dan otak dapat dipakai untuk mencapai mufakat bersama, mengapa harus mengerdilkan diri dengan mengandalkan kekuatan fisik semata. Salam damai bapak-bapak aparat yang sedang bertugas dimana saja.

Author: Esthi
Read more

Sabtu, 17 April 2010

Aliansi Penghuni Rumah Negara (APRN) Terbentuk

3 komentar
Persoalan hukum menyangkut rumah dinas di tanah air tidak hanya terjadi di komplek IIP, Cilandak, Jakarta. Tapi juga terjadi di banyak instansi pemerintahan lainnya, baik kementerian maupun institusi TNI/Polri.

Oleh sebab itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang ditemui Paguyuban Pensiunan Pegawai IIP dan Forum Komunikasi Penghuni Perumahan Negara (FKPPN), pada Rabu (14/34), mensepakati dibentuknya Aliansi Penghuni Rumah Negara (APRN).

Sekretariat APRN ini beralamat di Kantor LBH Jakarta, jalan Diponegoro no 74, Jakarta. Ditunjuk sebagai koordinator APRN adalah Prastopo dari FKPPN.


Dalam agendanya, APRN telah menetapkan beberapa sasaran. Jangka pendek, APRN akan segera mengirim surat moratorium kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Selanjutnya, APRN akan melakukan diskusi publik maupun audiensi dengan pihak-pihak yang terkait, seperti BPK, KPK, BPN, dan sejumlah kementerian.

Author: Ipal
Read more

Dulu Halal, Sekarang Haram...

2 komentar
”Dulu Halal, Sekarang Haram”: Contoh Budaya ”pokoknya”, Otoriter, dan Menang Sendiri dari Para Pejabat Yang Berkuasa*

Saran kepada Menteri Dalam Negeri :

Para Pejabat Tinggi di Kementerian Dalam Negeri seyogyanya mengambil keputusan yang tidak didasarkan kepada keinginannya sendiri, otoriter dan berpegang pada kata 'pokoknya'. Saat ini kondisi sudah berubah; bukan waktunya lagi pengambilan keputusan dilakukan tanpa berdasarkan data, fakta dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Contoh membudayanya keputusan yang berdasarkan ”pokoknya”, otoriter adu menang sendiri terlihat pada apa yang terjadi pada pertemuan tanggal 10 Februari 2010 bertempat di Gedung Inspektorat Jendral Kementerian Dalam Negeri. Pertemuan dihadiri oleh perwakilan-perwakilan dari IPDN, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Paguyuban Pensiunan IIP/IPDN, perihal Pertemuan dengan Tim Terpadu Penertiban dan Pengosongan Rumah Dinas dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang Rumah Dinas Kampus IPDN Cilandak.


Terhadap permintaan pensiunan agar mereka tidak dianak-tirikan/diskriminasi, wakil IPDN, Inspektur Wilayah I Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Soetjahjo, mengatakan bahwa KemDagri belum pernah melakukan pengalihan hak rumah dinas di perumahan perkantoran di lingkungan Kemdagri.

Pernyataan ini dibantah oleh pensiunan IIP/IPDN. Kemdagri sebelumnya telah mengalihkan hak rumah-rumah dinas pada Kompleks Perumahan Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pasar Minggu, Jakarta. Bantahan ini disertai dengan penunjukan photo-photo dan copy surat Kepala Biro Perlengkapan, Dept. Dalam Negeri No. 988/PERL/XI/'86, perihal: Proses Perubahan Status Rumah Golongan II menjadi Golongan III, dan surat No. 724/Perl/VIII/1987, perihal: Pemberitahuan.

Pensiunan IIP/IPDN selanjutnya mengingatkan:
  • Bahwa Pasal 15, Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1994, maupun PP No. 31/2005 tidak membedakan status Kompleks Perumahan Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pasar Minggu, Jakarta dengan status perumahan pada Kampus IIP/IPDN, Cilandak, Jakarta.
  • Bahwa Pasal (3, ayat 1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan: “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.”
  • Bahwa Pasal 2 UU No.10 Tahun 2004 menyatakan: ”Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.”
  • Bahwa Sila ke-lima dari Pancasila menyatakan: “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Terhadap fakta ini, wakil IPDN, Inspektur Wilayah I Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri menyatakan: ”Dulu halal, sekarang haram”.

*) khusus yang akan mengosongkan rumah dinas IIP

Author: Esthi/Malkan
Read more

Jumat, 16 April 2010

Kemauan Orang Tua, Bukan Anak-anaknya

0 komentar
Sorot mata Wahyono, pensiunan PNS kampus IIP di jalan Ampera Raya Cilandak Jakarta Selatan, nampak nanar. Garis wajahnya menyiratkan kegundahan sekaligus kemarahan. Pasalnya, ia menerima surat dari IPDN perihal pengosongan rumah dinas yang dia tempati. Surat tertanggal 6 April 2010 itu, ditandatangani Drs H Srimoyo Tamtomo SH MH, Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan IPDN. Surat yang sama juga diterima lima pensiunan IIP lainnya. Mereka adalah pensiunan dosen, Drs Andy Ramses Marpaung, serta empat janda pensiunan, yakni Ny Fauzi Ridwan (81 tahun), Ny Soeroso, Ny Mochtar, dan Ny Suyanto. Wahyono merasa pantas gundah dan marah, sebab pihak IPDN dinilainya tidak berhak melakukan pengosongan paksa terhadap rumah pensiunan di IIP. Sebaliknya, pensiunan mempunyai hak untuk menempati rumah dinas itu sampai ajal menjemput. Selain itu, pensiunan masih ada hak untuk meminta pengalihan golongan rumah, dari rumah golongan II menjadi rumah golongan III, sehingga pada akhirnya rumah tersebut bisa mereka beli dengan cara mencicil. “Seperti diatur di dalam PP 40 yang telah diubah menjadi PP 31 tahun 2005,” tutur Wahyono.

Kendati hanya enam pensiunan yang menerima surat perihal pengosongan rumah dinas, akan tetapi sudah pasti juga meresahkan 17 pensiunan lainnya. Sebab, pengosongan paksa yang dilakukan tim IPDN dengan melibatkan pihak luar seperti Satpol PP, Kepolisian, Koramil, dan juga preman bayaran serta ormas FBR (Forum Betawi Rempug), mereka nilai hanya satu tahapan sebelum semua pensiunan akhirnya juga dikosongkan paksa.

Tak pelak, malam itu juga paguyuban pensiunan IIP langsung mengadakan rapat mengantisipasi pengosongan paksa. Dan, sudah pasti, anak-anak mereka juga terlibat di dalamnya. Karena memang sangat tidak mungkin lagi bagi para pensiun yang berusia di atas 65 tahun itu bergerak sendiri. “Tentu saja, kami sebagai anak-anaknya yang harus bergerak membantu orang tua kami,” kata Malkan, putra sulung Ny Fauzi Ridwan. Malkan menambahkan, secara pribadi, dia sudah meminta ibunya untuk pindah dan meninggalkan rumah dinas yang telah ditempatinya lebih dari 30 tahun ini. Namun, ibunya bersikukuh tidak mau pindah. Alasan ibunya, dia memiliki hak untuk menempati rumah dinas sampai wafat. “Karena dasar itulah, kewajiban kami sebagai anak-anaknya turun membantu memperjuangkan hak orang tua kami,” jelasnya. Malkan menepis anggapan dipertahankannya rumah dinas ini karena kepentingan dari anak-anak pensiunan. “Tidak benar anggapan seperti itu. Ini sungguh kemauan orang tua-orang tua kami. Bukan anak-anaknya,” tegas Malkan.

Seperti juga terlihat pada aksi pengosongan 8 April lalu, para pensiunan IIP itu sendiri yang turun menghadang truk IPDN masuk ke dalam komplek. Putra-putri atau anak-anak dari para pensiunan hanya mendampingi, membantu, dan memberi dukungan atas perjuangan mereka.

Author: Ipal
Read more

Rabu, 14 April 2010

Komnas HAM & LBH Jakarta, Terima Kasih!!

0 komentar

Dalam artikel ini kami pensiunan IIP ingin mengucapkan banyak terima kasih atas peran dari KOMNAS HAM dan LBH Jakarta yang kami anggap amat sangat membantu kami dalam penyelesaian aksi pengosongan secara paksa oleh pihak IPDN. Ini adalah upaya-upaya yang kami bangun untuk menjalin komunikasi dengan pihak KOMNAS HAM & LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta untuk menyelesaikan masalah ini kita rangkum berdasarkan kronologis & tindak lanjut dari pihak KOMNAS HAM/LBH Jakarta,

Tgl. 6 April 2010
Institut Pemerintahan Dalam Negeri menyampaikan surat No. 012/701/UM/2010 kepada beberapa pensiunan anggota Paguyuban Pensiunan IIP/IPDN yang menyatakan bahwa akan segera melakukan tindakan pengosongan penghunian.
Dengan surat No. 013/PPIIP/IV/2010 Paguyuban Pensiunan IIP/IPDN membalas surat Surat Ibu Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 012/987/SJ tertanggal 15 Maret 2010 perihal Penertiban/Pengosongan Rumah Pensiunan di Kampus IIP/IPDN, Cilandak, Jakarta.
Surat diterima oleh Komnas HAM dan LBH Jakarta tgl. 7 April 2010.

Tgl. 7 April 2010
Komnas HAM mengirim surat No. 833/K/PMT/IV/2010 kepada Menteri Dalam Negeri, Cq. SekJen KemDagri, yang isinya a.l.:

Menindak lanjuti surat pengaduan Paguyuban Pensiunan IIP/IPDN, dan berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU No.39/1999 tentak Hak Asasi Manusia dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum, Komnas HAM meminta agar Menteri Dalam Negeri, Cq. SekJen Kementerian Dalam Negeri:
  • Menunda eksekusi atas rumah dinas yang ditempati Pengadu;
  • Membuka dialog dengan Pengadu untuk mencari solusi yang berkeadilan dan berperikemanusiaan;
  • Tidak melakukan tindakan yang bisa menciderai hukum dan hak asasi manusia;
  • Menyampaikan tanggapan atas pengaduan ini dalam tempo 30 (tigapuluh) hari sejak diterimanya surat.

Komnas HAM menelpon Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan IPDN yang memimpin tindakan pengosongan rumah, untuk meminta pembatalan tindakan pengosongan.

Direktur LBH Jakarta memberikan komitmen akan hadir pada saat tindakan pengosongan dilakukan.

Tgl. 8 April 2010
Dengan didukung oleh Kepolisian, Danrem, Satpol PP dan Pasukan Pengamanan IPDN dari Kampus Jatinangor dan Kampus IIP/IPDN, pihak IPDN melaksanakan pengosongan penghunian secara paksa yang mendapat perlawanan dari anggota Paguyuban Pensiunan IIP/IPDN.
Direktur LBH Jakarta bersama empat staf hadir pada pelaksanaan pengosongan penghunian secara paksa ini.
Sekitar jam 15:00 WIB wakil dari pihak IPDN menyatakan bahwa Menteri Dalam Negeri menerima surat Komnas HAM dan memerintahkan agar eksekusi ditiadakan pada hari itu.
Eksekusi pengosongan penghunian dihentikan.

Tgl. 9 April 2010
Paguyuban Pensiunan IIP/IPDN menulis surat No. 015/PPIIP/IV/2010 kepada Komnas HAM meminta bantuan mediasi oleh Komnas HAM dengan Menteri Dalam Negeri.

Tgl. 10 April 2010
LBH Jakarta memprakarsai konperensi pers di kantor LBH Jakarta.


Tgl. 13 April 2010
Komnas HAM mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri, Cq. SekJen Kementerian Dalam Negeri No. 064/R/Mediasi/IV/2010 perihal Permintaan Penyelesaian Secara Musyawarah dan Penundaan Eksekusi, yang isinya, a.l:
  • Sesuai dengan kewenangan Komnas HAM berdasarkan pasal 7 jo 89 (4) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM bertugas dan berwenang Perdamaian kedua belah pihak; penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli.
  • Agar Kementerian Dalam Negeri tidak melakukan eksekusi sampai tercapainya musyawarah/perdamaian kedua belah pihak demi penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 UUD 45 dan UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Itulah kronologis lengkap dari segala upaya yang dilakukan oleh rekan-rekan dari KOMNAS HAM & LBH Jakarta, perjuangan pensiunan IIP ini tidak akan lengkap tanpa ada dukungan kalian.
KOMNAS HAM & LBH Jakarta... TERIMA KASIH...

Author: Malkan
Read more

Selasa, 13 April 2010

IIP bukan IPDN

4 komentar
IIP Kampus Cilandak, Jakarta, awalnya berlokasi di Malang yang berdiri atas dasar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 119 tanggal 7 Agustus 1967 berlaku surut tanggal 25 April 1967. Keppres itu mengesahkan peralihan status Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Malang menjadi IIP Malang. Pada tanggal 25 Mei 1967, Menteri Dalam Negeri, Amir Mahmud, membuka secara resmi berdirinya IIP Malang sebagai lembaga kedinasan dilingkungan Kementerian Dalam Negeri.

Didasarkan atas pemikiran untuk menciptakan wawasan nasional dan mendekatkan IIP Malang dengan pusat informasi Pemerintah Pusat, maka diterbitkanlah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 1972 tentang Pemindahan Tempat Kedudukan IIP Malang ke Jakarta. Pada tahun 1972 IIP Jakarta diresmikan oleh Presiden Soeharto, namun baru pada tahun 1974 kegiatan pendidikan berlangsung secara penuh. Sebagai landasan yuridis formal dalam pelaksanaan pendidikannya, diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 1973 tanggal 5 Maret 1973 tentang Statuta IIP Jakarta.



Perpindahan IIP Malang ke Jakarta adalah jebol/bedol deso, yaitu seluruh pegawai, baik pegawai baru/lama, semua dipindahkan ke Jakarta. Keadaan pegawai saat itu serba sulit, apabila saat itu para pegawai diperbolehkan memilih, maka banyak pegawai yang tidak mau pindah ke Jakarta karena pertimbangan keluarga yang ditinggal dan kondisi perekonomian di Jakarta yang lebih tinggi daripada di Malang. Akan tetapi, karena ada jaminan bahwa mereka bisa tinggal sampai janda/dudanya meninggal dan akan memiliki rumah dari pimpinan (IIP/Depdagri), seluruh pegawai bersedia pindah ke Jakarta walaupun berharap-harap cemas karena apa yang dikatakan oleh pimpinan (IIP/Depdagri) hanya diucapkan secara lisan tidak dituangkan dalam Surat Keputusan.

Sejak berdirinya IIP tahun 1967 s/d akhir tahun 2004 organisasi dan Tata Kerja Institut Ilmu Pemerintahan masih non struktural, sehingga karier pegawai sangat sulit untuk berkembang, kenaikan pangkat pegawai seluruhnya berjalan secara reguler biarpun yang bersangkutan sudah menduduki jabatan-jabatan tertentu misalnya, sebagai Kepala Bagian (yang katanya dipersamakan dengan eselon III) dan Kepala Sub Bagian (yang katanya dipersamakan dengan eselon IV). Intinya pegawai IIP pada saat itu hanya dituntut kewajibannya, sedangkan hak-hak pegawai selain gaji yaitu kenaikan pangkat tidak dapat dipenuhi.

Pasca kekerasan yang terjadi di Kampus STPDN Jatinangor, Depdagri melakukan pemindahan Muda Praja STPDN ke Kampus IIP Cilandak, dan bahkan mahasiswa IIP yang mempunyai kampus malah harus dipindahkan ke Badan Diklat Depdagri Kalibata demi menyelamatkan mahasiswa STPDN agar tidak terjadi kontak fisik.

Setelah terjadi kasus kekerasan pada praja Wahyu Hidayat yang menyebabkannya meninggal dunia, pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri akhirnya memutuskan melebur Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan IIP dalam wadah baru bernama Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) pada tahun 2005.

Pada 10 Oktober 2007, IPDN kembali diubah menjadi Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), namun IIP yang baru ini tidak akan hanya mempunyai kampus di Jatinangor, melainkan juga di beberapa daerah lain seperti Bukittinggi (Sumatera Barat), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Mataram (Nusa Tenggara Barat). IIP juga akan berbeda dari IPDN dari segi sistem pendidikannya, meskipun pada saat keputusan perubahan ini diambil sistem pendidikan yang baru tersebut belum diatur secara rinci.

Author: Esthi
Read more

Senin, 12 April 2010

Berita Seputar Pengosongan Rumah IIP di Internet

0 komentar

Berikut ini beberapa website yang memberitakan seputar aksi pengosongan rumah pensiunan IIP:

Eksekusi Rumah Pensiunan Depdagri di Jl. Ampera Masih Tegang
Ratusan warga dan Pamdal Depdagri terus terlibat saling dorong saat eksekusi rumah pensiunan di Kompleks IPDN. Negosiasi warga dan aparat keamanan masih ....

Bawa Foto Suami, Janda 81 Tahun Ikut Demo
Tak rela rumahnya digusur, Ratna Fauzi (81), janda pensiunan pegawai departemen dalam negeri (Depdagri) yang tinggal di Komplek IPDN, Jl Ampera, Jakarta Selatan ikut demo dengan warga. Sambil memegang foto suaminya, ia berharap ....

Keluarga Pensiunan Tolak Kosongkan Rumah, Jalan Ampera Macet
Jalan Raya Ampera Raya macet karena aksi demo puluhan warga Perumahan Pensiunan Departemen Dalam Negeri di komplek Kampus Institut Ilmu Pendidikan dan atau ...

Beredar SMS Pengusuran Rumah Pensiunan IPDN
Telah beredar pesan singkat (SMS) misterius tentang penggusuran 20 kepala keluarga pensiunan kampus Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) atau ...

Warga IIP: Hasil Laporan BPK Tidak Akurat

Pengosongan Kompleks Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jalan Ampera Raya, Cilandak, Jakarta Selatan, oleh Kemendagri karena berdasar hasil pemeriksaan BPK 2006. Tapi, warga langsung menolak tegas dan menilai laporan BPK tersebut tidak akurat.
Read more

Janji Palsu Pimpinan IIP

0 komentar

Pensiunan pegawai IIP Kampus Cilandak, Jakarta, selama membaktikan dirinya telah sering mendengar janji-janji yang diucapkan oleh para pimpinan kampus. Janji yang diberikan kepada pensiunan oleh para Pimpinan IIP adalah bahwa IIP membantu agar setiap dosen/ pegawai IIP yang telah pensiun (setelah bekerja di IIP selama lebih dari 10 tahun dan belum pernah membeli/memiliki rumah dari Negara) akan dibantu/diusahakan untuk mempunyai rumah. Dalam hal bantuan belum dapat direalisasikan oleh IIP, maka kebijaksanaan yang ditempuh adalah memberikan izin untuk tetap menghuni rumah dinas di IIP, selagi pensiunan tersebut dan/atau janda atau duda-nya masih hidup.

Janji tersebut misalnya diucapkan langsung oleh Rektor IIP periode tahun 1995-1998 yang Beliau ucapkan di depan para pegawai IIP pada acara “Silaturahmi dengan warga kampus” tanggal 22 Juni 1998. Disebutkan juga oleh beliau bahwa kebijakan tersebut telah berlangsung semenjak Rektor IIP yang pertama, Bapak Drs Soejekti Djajadiatma, MSPA dan diikuti oleh rektor-rektor sesudahnya.

Sangatlah tragis bahwa sampai akhir pengabdian pegawai tidak ada upaya pimpinan IIP untuk memperjuangkan kesejahteraan, khususnya yang menyangkut kebutuhan perumahan, sedangkan apabila ada pegawai yang kebetulan dapat memiliki perumahan dari fasilitas KPR BTN/Perumnas dengan cara mencicil, hal itu semua merupakan upaya dari yang bersangkutan sendiri, akan tetapi bukan karena fasilitas lembaga dan semua itu bisa dilakukan karena usaha sampingan dari pegawai yang bersangkutan.

Akhirnya tercetus ungkapan dari beberapa pensiunan pegawai IIP yang mengatakan, “kalau tahu akhirnya akan menjadi begini, lebih baik kita dulu tidak perlu pindah ke Jakarta”.

Author: Esthi
Read more

Sabtu, 10 April 2010

PRESS RELEASE

0 komentar

Berikut ini adalah press-release dari kami yang merupakan ungkapan & tuntutan dari pensiunan IIP yang kami sampaikan di LBH Jakarta:

1.Kami adalah pensiunan/janda-duda pensiunan Pegawai Negeri Sipil di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Cilandak, Jakarta, yang selama ini telah mengabdikan diri kepada Negara Indonesia. Dimana, memasuki masa tua, kami harus mengalami kecemasan dan ketidaktenangan akibat intimidasi dan ancaman pengosongan paksa terhadap rumah yang kami huni oleh Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kemendagri.

2. Alasan pengosongan paksa selalu disebutkan sebagai tindak lanjut dari hasil Pemeriksaan BPK tahun 2006, yang antara lain menyebutkan bahwa penghuni tidak mempunyai itikad baik untuk mengembalikan rumah dinas kepada Kementerian Dalam Negeri. Sayangnya proses pemeriksaan BPK tidak sesusi dengan peraturan BPK-RI No.1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang antara lain menyatakan bahwa tanggung jawab pemeriksa dalam menyusun laporan hasil pemeriksaan harus melalui proses konfirmasi. BPK memang melakukan Proses konfirmasi dalam pemeriksaan terkait Penghunian Rumah Dinas Pusdiklat Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung di Jln. Karang Tinggal No. 16 Sukajadi Bandung (halaman 19-23 tentang “4). Sebaliknya terhadap rumah di IIP tidak pernah dikonfirmasikan kepada penghuni sebagaimana diatur dalam peraturan BPK-RI di atas. Akibatnya terjadi “kesalahpahaman para pengguna laporan hasil pemeriksaan” (hal. 17 butir 25). Dengan demikian, hasil pemeriksaan BPK terhadap pengosongan rumah IIP/IPDN tidak akurat dan tidak dapat dijadikan bahan acuan sampai dilakukan proses pemeriksaan oleh BPK dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dalam peraturan BPK-RI No.1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

3. Pernyataan Inspektur Wilayah I Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Saudara Soecahyo, seperti dikutip dalam situs Okezone yang menyatakan bahwa : ”Warga pensiunan IIP/IPDN sudah dikasih uang”. Hal ini tidak benar sama sekali atau BOHONG besar. Bagaimana seorang pejabat/inspektur/eselon II di Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri berbicara tanpa berdukung fakta, data dan tanpa konfirmasi.
Sehingga, membuat KEBOHONGAN PUBLIK. Yang benar adalah warga pensiunan IIP pernah ditawari uang pindah yang besarnya Rp 2 juta s.d 10 juta namun kami menolaknya karena pemberian kompensasi tersebut tidak memiliki dasar hukum.

4. Terhadap isu yang berkembang bahwa pengosongan paksa yang dilakukan oleh pihak IPDN berdasarkan putusan MA, yang menyatakan warga pensiunan IIP/IPDN telah kalah dan harus dieksekusi, adalah TIDAK BENAR, karena permasalahan ini belum memasuki proses pengadilan sama sekali.

5. Aksi pengosongan rumah IIP seharusnya adalah urusan Kementerian Dalam Negeri tidak perlu melibatkan pihak ketiga yang tidak berkepentingan sama sekali. Namun untuk kepentingan pengosongan rumah di IIP pihak IPDN bahkan tidak segan untuk menggunakan preman bayaran sebanyak 24 orang yang dibayar sebesar Rp 100,000,- perorang sebagaimana disaksikan, didengar dan disampaikan proses negosiasinya oleh warga kami. Dengan dalih sebagai tenaga angkut barang, preman bayaran akan mengunakan strategi dengan menyusup dalam kegiatan yang dilakukan warga untuk kemudian melakukan tindakan provokatif guna memancing terjadinya tindak kekerasan yang berujung pada kekacauan.

6. Perlakuan diskriminasi secara hukum terhadap kami warga pensiunan IIP:

a. Rumah-rumah negara di Kompleks Perumahan Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kementerian Dalam Negeri, Pasar Minggu, juga awalnya menyatu dengan kantor. Secara fisik, perubahan golongan rumah ini dilakukan Departemen Dalam Negeri dengan pembuatan pagar yang memisahkan gedung perkantoran Komplek

b. Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa dengan rumah-rumah negara yang ada di sekelilingnya. Selain menyertakan bukti photo-photo, surat kami tanggal 10 November 2003 ini juga menyertakan Surat Kepala Biro Perlengkapan, Departemen Dalam Negeri No. 988/PERL/XI/’86, perihal: Proses Perubahan Status Rumah Golongan II menjadi Golongan III, dan No. 724/Perl/VIII/1987, perihal: Pemberitahuan, yang merupakan bukti dari perubahan status rumah negara dari rumah Golongan II menjadi Golongan III, sehingga memungkinkan rumah-rumah tersebut dialihkan kepemilikannya kepada penghuni. Menurut PP no.40 tahun 1994 yang telah dirubah pada PP no.31 tahun 2005, definisi status Rumah Negara di Komplek Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa adalah sama dengan kondisi perumaha di Komplek Institut Pemerintahan Dalam Negeri.

c. Besarnya gaji & tunjangan yang diterima oleh para pensiunan/janda IIP/IPDN semasa bekerja tidak cukup untuk membeli rumah. Sehingga, apabila saat pensiunan/janda-dudanya harus mengosongkan rumah yang dihuni maka mereka tidak memiliki tempat tinggal.

7. Kemarin, tanggal 9 April 2010, atas permintaan KOMNAS HAM kami telah menyampaikan surat permintaan mediasi untuk berdialog dengan Mendagri.

8. Kami menuntut penyelesaian masalah secara menyeluruh yang didasarkan pada ketentuan perundangan-undangan yang berlaku yang melibatkan KPK, BPK, KOMNAS HAM dan LBH.

Sabtu, 10 April 2010. Kantor LBH Jakarta, Jl. Diponegoro 74
Read more

Cerita Dibalik Derita Pensiunan

2 komentar
23 KK pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) IIP Ampera, Cilandak Timur, Jakarta Selatan diselimuti keresahan. Mereka resah dan was-was terhadap ancaman pengosongan paksa rumah dinas yang telah mereka tempati selama puluhan tahun. Sementara, kenyataan lain mereka belum punya rumah sendiri.

Habis manis sepah dibuang. Inilah pepatah yang tampaknya pas untuk menggambarkan apa yang sedang dialami para pensiunan IIP. Setelah lebih dari 30 tahun mengabdi dan berbakti, ternyata bukan penghargaan secara pantas mereka terima dari instansi tempat mereka bekerja, melainkan tindakan sewenang-wenang. Para pensiunan justru diperlakukan seperti “kucing kurap” yang harus diusir keluar dari rumah dinas yang sudah puluhan tahun mereka tempati.



Jelas, para pensiunan bukanlah “kucing kurap” yang bisa dengan seenaknya diusir begitu saja. Apalagi, memang sebuah realitas, kebanyakan para pensiunan belum memiliki rumah sendiri. Pasalnya, para pensiunan, selama bekerja sebagai PNS di IIP, benar-benar menggunakan hati nurani dan harga dirinya sebagai manusia. Sehingga selama puluhan tahun mereka bekerja dengan gaji seadanya, yang bila dicompare lagi dengan jumlah anak yang mereka miliki –rata-rata KK mempunyai 3 sampai 5 anak --, jangankan untuk membeli rumah, mensekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi saja, sebenarnya mereka tidak mampu.

Para pensiunan IIP ini, bukanlah tipe PNS seperti era sekarang, yang kebanyakan melakukan “korupsi” kecil-kecilan dengan memanfaatkan kewenangannya sebagai aparat birokrasi. Para pensiunan IIP ini adalah PNS yang mengedepankan kejujuran hati dalam bekerja. Untuk menutupi banyak kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, mereka secara kreatif mencari penghasilan sampingan dengan berbagai usaha halal. Inipun kebanyakan bukan dilakukan oleh para suami yang PNS, melainkan oleh para ibu atau istri mereka.

Para istri PNS IIP ini rata-rata mencari penghasilan tambahan dengan berdagang. Ada yang membuka warung kelontong, warung makan untuk para mahasiswa yang belajar di IIP, warung sayur mayur, jualan kue, jasa pengetikan, dan lainnya. Namun, tidak semua istri PNS ini yang beruntung bisa membantu sang suami dengan melakukan usaha sambilan. Kebanyakan istri PNS IIP ini pyur sebagai ibu rumah tangga.

“Suami saya pensiunan golongan II D. Sekarang ini, gaji pensiunan suami yang saya terima setiap bulan hanya Rp900 ribu. Jumlah ini juga baru naik semasa Presiden SBY. Masa-masa sebelumnya, jauh di bawahnya. Jadi, selama suami masih aktif, uang gaji yang diterima setiap bulan, boro-boro bisa ditabung untuk beli rumah, buat makan sebulan aja kadang masih kurang,” kata Ngatmini, istri dari Toegino yang pensiun sekitar tahun 1996, kepada IRNews, Jumat (9/4) kemarin.

Ngatmini yang tinggal di blok C-06 menceritakan, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, mulai dari kebutuhan makan hingga kebutuhan sekolah ketiga anak-anaknya, suaminya mencari penghasilan tambahan dengan bekerja serabutan setelah pulang kantor. “Seringnya bapak membantu tetangga yang punya usaha. Kadang-kadang dia bekerja menjual tanaman hias yang ditanamnya. Ya, macam-macamlah. Kalau saya, seringnya membantu ibu-ibu yang punya usaha,” tuturnya. “Hasilnya enggak seberapa, tapi lumayan untuk bisa menutupi keperluan di rumah,” tambahnya.

Karena gaji suami tidak seberapa jumlahnya, dan tidak punya banyak pendapatan diluar gaji itulah, diakui istri Toegino ini, ketiga anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. “Anak saya yang pertama perempuan, begitu tamat SMA, saya suruh bekerja dan tidak kuliah,” tuturnya lagi. Begitu juga dengan kedua adiknya. Mereka tidak ada yang kuliah. “Karena memang enggak punya biaya untuk itu,” sedih Ngatmini.

Nasib sama dialami ibu Soejoed (67 tahun). Istri dari suami PNS yang sudah tinggal di IIP selama 38 tahun ini, menceritakan sama sekali tidak banyak bisa membantu suami dalam memperoleh penghasilan tambahan diluar gaji suami. Dirinya murni sebagai ibu rumah tangga yang mengandalkan gaji suami bergolongan rendah, untuk menutupi keperluan hidup keluarganya.

“Gaji suami habis hanya untuk makan dan keperluan kecil lainnya. Menyisihkan uang gaji untuk ditabung itu susah setengah mati. Apalagi untuk beli rumah,” tuturnya dengan bibir gemetar. Karena itu, sambungnya, sejak suaminya pensiun dirinya sangat kebingungan dan selalu dibayangi rasa ketakutan yang teramat sangat dengan rencana pengosongan paksa yang akan dilakukan pihak kemendagri dan IPDN. Seperti halnya yang sudah coba dilakukan Tim IPDN pada Kamis (8/4) lalu.

Masih Punya Hak

Sebagaimana sudah diberitakan banyak media, pada Kamis kemarin, para pensiunan PNS IIP ini memblokir pintu gerbang masuk komplek untuk mencegah Tim IPDN yang akan melakukan aksi pengosongan rumah dinas mereka. Para pensiunan berbaris dan menutup pintu gerbang dengan pot tanaman. Bahkan sebelumnya, pada pagi hari sekitar pukul 6.30, mereka yang kebanyakan kaum ibu-ibu melakukan aksi nekad menghadang langsung truk milik IPDN yang akan masuk komplek, dengan cara tiduran di jalanan persis di depan truk. Sehingga mau tidak mau memaksa truk itu kembali mundur dan keluar komplek.

Ketua Paguyuban pensiunan pegawai negeri sipil di IIP Cilandak, Andy Ramses Marpaung, dalam banyak kesempatan mengatakan, bahwa para pensiunan masih punya hak atas rumah dinas yang mereka tempati sejak puluhan tahun ini. Tidak hanya berhak menempati rumah dinas, bahkan para pensiunan memiliki hak untuk membeli rumah dinas tersebut dengan cara dicicil. “PP 40 tahun 1994 yang telah diubah menjadi PP no 31 tahun 2005 tentang rumah negara, memberikan peluang bagi pensiunan untuk memiliki dan membeli rumah ini,” terangnya kepada sejumlah wartawan termasuk IRNews.

Apalagi, kata Andy, sudah ada contoh untuk pengalihan hak rumah negara ini di lingkungan departemen dalam negeri. Ia sebutkan pengalihan hak rumah negara di lingkungan kantor Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (Bangdes) yang sekarang berganti nama menjadi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, di Jalan Pasarminggu Raya KM 19. “Karena itu, kami minta, kami juga bisa membeli rumah dinas ini,” tegasnya.

Pernyataan Andy ini diperkuat dengan surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM). Komnas HAM yang juga menerima pengaduan para pensiunan IIP/IPDN ini, dalam suratnya tertanggal 7 April 2010 untuk Menteri Dalam Negeri, menyatakan, berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Begitupun dikatakan Direktur LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat. Sehingga menanggapi rencana Tim IPDN yang akan melakukan pengosongan paksa terhadap para pensiunan di lingkungan perumahan IIP ini, Nurkholis Hidayat, menilai Kementerian Dalam Negeri telah melakukan tindakan semena-mena, dan tidak menghargai hukum. “Dalam menyelesaikan masalah ini pemerintah semestinya berdialog dengan warga pensiunan. Bukan dengan cara pengusiran seperti ini,” tegasnya. “Negara kita adalah negara hukum. Karena itu, apapun persoalannya bila tidak bisa diselesaikan dengan cara dialog, harus diselesaikan melalui cara hukum,” tambahnya.

Sementara itu, Inspektur Wilayah I Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri, Soetjahjo, dalam kesempatan yang sama, sempat bersitegang dengan paguyuban pensiunan karena melontarkan, dialog percuma dilakukan karena tidak ada titik temu. “Percuma, dialog sudah dilakukan beberapa kali, tapi tidak pernah ada titik temu,” ujarnya yang juga disaksikan oleh wartawan dan juga anggota LBH.

Pertanyaannya, benarkah permasalahan rumah dinas yang ditempati warga pensiunan dengan instansi bersangkutan tidak bisa diselesaikan dengan cara dialog? Bila dalam dialog memang tidak terjadi kesepakatan, cara apakah yang semustinya ditempuh? Cara kekerasan ataukah cara hukum?

Marilah, kita sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi norma agama dan Pancasila, sudah sepatutnya sama-sama berpikir arif dan jernih dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Tidak lagi dengan cara-cara kekerasan, apalagi semata-mata beralasan karena melaksanakan tugas.

Source: www.indonesiarayanews.com
Read more