Sabtu, 10 April 2010

Cerita Dibalik Derita Pensiunan

23 KK pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) IIP Ampera, Cilandak Timur, Jakarta Selatan diselimuti keresahan. Mereka resah dan was-was terhadap ancaman pengosongan paksa rumah dinas yang telah mereka tempati selama puluhan tahun. Sementara, kenyataan lain mereka belum punya rumah sendiri.

Habis manis sepah dibuang. Inilah pepatah yang tampaknya pas untuk menggambarkan apa yang sedang dialami para pensiunan IIP. Setelah lebih dari 30 tahun mengabdi dan berbakti, ternyata bukan penghargaan secara pantas mereka terima dari instansi tempat mereka bekerja, melainkan tindakan sewenang-wenang. Para pensiunan justru diperlakukan seperti “kucing kurap” yang harus diusir keluar dari rumah dinas yang sudah puluhan tahun mereka tempati.



Jelas, para pensiunan bukanlah “kucing kurap” yang bisa dengan seenaknya diusir begitu saja. Apalagi, memang sebuah realitas, kebanyakan para pensiunan belum memiliki rumah sendiri. Pasalnya, para pensiunan, selama bekerja sebagai PNS di IIP, benar-benar menggunakan hati nurani dan harga dirinya sebagai manusia. Sehingga selama puluhan tahun mereka bekerja dengan gaji seadanya, yang bila dicompare lagi dengan jumlah anak yang mereka miliki –rata-rata KK mempunyai 3 sampai 5 anak --, jangankan untuk membeli rumah, mensekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi saja, sebenarnya mereka tidak mampu.

Para pensiunan IIP ini, bukanlah tipe PNS seperti era sekarang, yang kebanyakan melakukan “korupsi” kecil-kecilan dengan memanfaatkan kewenangannya sebagai aparat birokrasi. Para pensiunan IIP ini adalah PNS yang mengedepankan kejujuran hati dalam bekerja. Untuk menutupi banyak kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, mereka secara kreatif mencari penghasilan sampingan dengan berbagai usaha halal. Inipun kebanyakan bukan dilakukan oleh para suami yang PNS, melainkan oleh para ibu atau istri mereka.

Para istri PNS IIP ini rata-rata mencari penghasilan tambahan dengan berdagang. Ada yang membuka warung kelontong, warung makan untuk para mahasiswa yang belajar di IIP, warung sayur mayur, jualan kue, jasa pengetikan, dan lainnya. Namun, tidak semua istri PNS ini yang beruntung bisa membantu sang suami dengan melakukan usaha sambilan. Kebanyakan istri PNS IIP ini pyur sebagai ibu rumah tangga.

“Suami saya pensiunan golongan II D. Sekarang ini, gaji pensiunan suami yang saya terima setiap bulan hanya Rp900 ribu. Jumlah ini juga baru naik semasa Presiden SBY. Masa-masa sebelumnya, jauh di bawahnya. Jadi, selama suami masih aktif, uang gaji yang diterima setiap bulan, boro-boro bisa ditabung untuk beli rumah, buat makan sebulan aja kadang masih kurang,” kata Ngatmini, istri dari Toegino yang pensiun sekitar tahun 1996, kepada IRNews, Jumat (9/4) kemarin.

Ngatmini yang tinggal di blok C-06 menceritakan, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, mulai dari kebutuhan makan hingga kebutuhan sekolah ketiga anak-anaknya, suaminya mencari penghasilan tambahan dengan bekerja serabutan setelah pulang kantor. “Seringnya bapak membantu tetangga yang punya usaha. Kadang-kadang dia bekerja menjual tanaman hias yang ditanamnya. Ya, macam-macamlah. Kalau saya, seringnya membantu ibu-ibu yang punya usaha,” tuturnya. “Hasilnya enggak seberapa, tapi lumayan untuk bisa menutupi keperluan di rumah,” tambahnya.

Karena gaji suami tidak seberapa jumlahnya, dan tidak punya banyak pendapatan diluar gaji itulah, diakui istri Toegino ini, ketiga anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. “Anak saya yang pertama perempuan, begitu tamat SMA, saya suruh bekerja dan tidak kuliah,” tuturnya lagi. Begitu juga dengan kedua adiknya. Mereka tidak ada yang kuliah. “Karena memang enggak punya biaya untuk itu,” sedih Ngatmini.

Nasib sama dialami ibu Soejoed (67 tahun). Istri dari suami PNS yang sudah tinggal di IIP selama 38 tahun ini, menceritakan sama sekali tidak banyak bisa membantu suami dalam memperoleh penghasilan tambahan diluar gaji suami. Dirinya murni sebagai ibu rumah tangga yang mengandalkan gaji suami bergolongan rendah, untuk menutupi keperluan hidup keluarganya.

“Gaji suami habis hanya untuk makan dan keperluan kecil lainnya. Menyisihkan uang gaji untuk ditabung itu susah setengah mati. Apalagi untuk beli rumah,” tuturnya dengan bibir gemetar. Karena itu, sambungnya, sejak suaminya pensiun dirinya sangat kebingungan dan selalu dibayangi rasa ketakutan yang teramat sangat dengan rencana pengosongan paksa yang akan dilakukan pihak kemendagri dan IPDN. Seperti halnya yang sudah coba dilakukan Tim IPDN pada Kamis (8/4) lalu.

Masih Punya Hak

Sebagaimana sudah diberitakan banyak media, pada Kamis kemarin, para pensiunan PNS IIP ini memblokir pintu gerbang masuk komplek untuk mencegah Tim IPDN yang akan melakukan aksi pengosongan rumah dinas mereka. Para pensiunan berbaris dan menutup pintu gerbang dengan pot tanaman. Bahkan sebelumnya, pada pagi hari sekitar pukul 6.30, mereka yang kebanyakan kaum ibu-ibu melakukan aksi nekad menghadang langsung truk milik IPDN yang akan masuk komplek, dengan cara tiduran di jalanan persis di depan truk. Sehingga mau tidak mau memaksa truk itu kembali mundur dan keluar komplek.

Ketua Paguyuban pensiunan pegawai negeri sipil di IIP Cilandak, Andy Ramses Marpaung, dalam banyak kesempatan mengatakan, bahwa para pensiunan masih punya hak atas rumah dinas yang mereka tempati sejak puluhan tahun ini. Tidak hanya berhak menempati rumah dinas, bahkan para pensiunan memiliki hak untuk membeli rumah dinas tersebut dengan cara dicicil. “PP 40 tahun 1994 yang telah diubah menjadi PP no 31 tahun 2005 tentang rumah negara, memberikan peluang bagi pensiunan untuk memiliki dan membeli rumah ini,” terangnya kepada sejumlah wartawan termasuk IRNews.

Apalagi, kata Andy, sudah ada contoh untuk pengalihan hak rumah negara ini di lingkungan departemen dalam negeri. Ia sebutkan pengalihan hak rumah negara di lingkungan kantor Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (Bangdes) yang sekarang berganti nama menjadi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, di Jalan Pasarminggu Raya KM 19. “Karena itu, kami minta, kami juga bisa membeli rumah dinas ini,” tegasnya.

Pernyataan Andy ini diperkuat dengan surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM). Komnas HAM yang juga menerima pengaduan para pensiunan IIP/IPDN ini, dalam suratnya tertanggal 7 April 2010 untuk Menteri Dalam Negeri, menyatakan, berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Begitupun dikatakan Direktur LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat. Sehingga menanggapi rencana Tim IPDN yang akan melakukan pengosongan paksa terhadap para pensiunan di lingkungan perumahan IIP ini, Nurkholis Hidayat, menilai Kementerian Dalam Negeri telah melakukan tindakan semena-mena, dan tidak menghargai hukum. “Dalam menyelesaikan masalah ini pemerintah semestinya berdialog dengan warga pensiunan. Bukan dengan cara pengusiran seperti ini,” tegasnya. “Negara kita adalah negara hukum. Karena itu, apapun persoalannya bila tidak bisa diselesaikan dengan cara dialog, harus diselesaikan melalui cara hukum,” tambahnya.

Sementara itu, Inspektur Wilayah I Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri, Soetjahjo, dalam kesempatan yang sama, sempat bersitegang dengan paguyuban pensiunan karena melontarkan, dialog percuma dilakukan karena tidak ada titik temu. “Percuma, dialog sudah dilakukan beberapa kali, tapi tidak pernah ada titik temu,” ujarnya yang juga disaksikan oleh wartawan dan juga anggota LBH.

Pertanyaannya, benarkah permasalahan rumah dinas yang ditempati warga pensiunan dengan instansi bersangkutan tidak bisa diselesaikan dengan cara dialog? Bila dalam dialog memang tidak terjadi kesepakatan, cara apakah yang semustinya ditempuh? Cara kekerasan ataukah cara hukum?

Marilah, kita sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi norma agama dan Pancasila, sudah sepatutnya sama-sama berpikir arif dan jernih dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Tidak lagi dengan cara-cara kekerasan, apalagi semata-mata beralasan karena melaksanakan tugas.

Source: www.indonesiarayanews.com

2 komentar:

nothing absolute mengatakan...

jangan pelit sama gambar ya Mas... Biar kami juga bisa lebih dapat "feel"-nya derita mereka adalah tangis kami

Anonim mengatakan...

Pejabat Inspektorat Jenderal Kemendagri masih memakai gaya pejabat lama dalam menyelesaikan persoalan yg dimana seharusnya mereka sadar bahwa mereka adalah "pengayom masyarakat" bahkan sebagai "pelayan" bukan sebagai "juragan" ... atau mungkin pihak sipil ingin mengikuti cara2 TNI dalam pengosongan paksa sedangkan di TNI saja mereka sdh mulai melakukan dialog dalam mencari solusi bahkan sampai keranah hukum ...dan negara kita adalah adalah negara hukum kalau dialog tidak mencapai sepakat maka bisa ditempuh cara hukum ...

Posting Komentar